Tidak tersangkal, fenomena sosial menunjukkan banyak sarjana saat ini menganggur. Alasannya pasti bermacam ragam. Namun satu dari alasan paling mendasar ialah karena tidak punya kemampuan menciptakan sendiri lapangan kerja, telah menjadi gejalah umum dari tahun ke tahun.
Patut disayangkan Ilmu yang dipelajari bertahun-tahun lamanya ternyata tidak cukup menyulap mereka berpikir kreatif, menciptakan lapangan kerja dan menjadi lebih mandiri. Konyolnya, selepas dari perguruan tinggi, mereka malah tambah konsumptif. Artinya berlomba-lomba merebut lowongan kerja yang diciptakan pihak negara atau swasta. Pada titik ini, output pendidikan kita baru hanya mampu melahirkan ‘sarjana pencari kerja’ dan bukannya pencipta kerja.
Menyimak fenomena sosial pendidikan itu, kita pantas bertanya di manakah letak akar permasalahannya ? Tentunya kita bisa temukan banyak faktor di balik gejalah ini kalau mulai menganalisisnya.
Tapi kali ini kita cukup soroti dulu faktor yang berkaitan dengan model pendidikan yang kurang sambung dengan persoalan dan kebutuhan lokal. Melirik praktek pendidikan saat ini, tidak sulit ditemukan bahwa proses pendidikan dan pengajaran pada banyak sekolah dan perguruan tinggi masih tetap terfokus pada persoalan transfer serta penghafalan pengetahuan teoritis dan abstrak sebatas buku-buku teks atau diktat.
Seorang teman (anak daerah) menggambarkan secara menarik kondisi pendidikan saat ini lewat sebuah anekdot tentang jagung. Katanya, tingkat pendidikan kita baru sampai pada titik memberi teori ala kadarnya tentang jagung dan bagaimana menanam jagung.
Tetapi belum sampai mendorong peserta didik berani turun ke lapangan, mengolah tanah, memilih bibit jagung unggul, menanam dan merawatnya sampai berhasil. Kemudian menjualnya dengan harga tinggi atau mengolahnya menjadi bahan makanan enak yang bisa terjual habis.
Menilik problematika, output dan pokok permasalahan pendidikan itu, maka actus pendidikan ke depan perlu lebih membumi. Artinya ide dan teori yang diajarkan perlu punya relevansi dengan kebutuhan dan persoalan konkrit.
Misalmya, persoalan keadaan tanah yang tandus, kemiskinan, potensi pertanian dan kelautan yang perlu digarap agar menjadi kekayaan rill yang bisa dinikmati, kesehatan dan persoalan pendidikan setempat. Teori perlu diaktualisasikan dalam tindakan nyata.
Secara sosial, pendidikan yang bersentuhan dengan teori dan wacana semata-mata tanpa peduli akan kontekstualisasi dan aplikasi konkrit merupakan pendidikan yang tidak bertanggung jawab.
Mengapa tidak bertanggung jawab? Sebab model pendidikan seperti ini tentunya tidak akan menghasilkan generasi baru yang memiliki kepekaan sosial serta rasa tanggung jawab tinggi terhadap hidup dan kemajuan masyarakat. Sebaliknya menghasilkan manusia konsumptif, apatis dan egoistik.
Beberapa faktor penyebab lain, diantaranya Mereka selalu ingin mendapat pekerjaan dengan cara mudah, punya jabatan, mapan, fasilitas mewah dan gaji besar. Tuntutan itu mereka minta dengan alasan sesuai statusnya seorang sarjana. Tuntutan sedemikian berat yang tidak disertai keahlian yang memadai sangat memberatkan perusahaan.
Sikap para sarjana seperti itu tergantung bagaimana proses waktu belajar di kampus dulu.
Kenyataan membuktikan, mereka kurang tahan bekerja di bawah tekanan yang ketat. Mereka juga kurang mampu berpikir lebih kreatif untuk mendapatkan manfaat dari keterbatasannya.
Disebut mahasiswa kaya mental karena mereka punya tekat dan sangat paham bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang instant. Semua membutuhkan proses, perjuangan dan pengorbanan.
Tekanan dan sistem yang kuat dalam pekerjaan selalu mereka jadikan lahan untuk belajar dan memperbaiki citra diri. Yang bekerja, kariernya bisa meningkat dan pada akhirnya menemukan kedudukan penting. Sementara yang berwirausaha, menjadi lebih mapan, bahkan bisa merekrut karyawan.
Yang paling berperan menjadikan sang anak kaya mental adalah orang tua dan keluarga. Bila dari rumah mereka keluar dengan bekal mental yang baik, maka di mana pun berada selalu saja memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu yang kreatif, positif dan menghasilkan. Hal itu berawal dari kebiasaan mandiri dengan mengurus kehidupannya sendiri. Namun keadaan justru sebaliknya, mereka dimanjakan dan apa yang diinginkan selalu diberikan. Bahkan ada orang tua yang berani mengeluarkan banyak biaya asalkan anaknya lulus sarjana.